follow me

+ Follow
Join on this site

with Google Friend Connect

Senin, 29 Februari 2016



Cintanya atau CintaNya
Tinggal pilih tidak ada susahnya,di Kota ini dalam seminggu saja sudah banyak kajian yang diadakan di berbagai tempat. Tak luput pula banyak pilihan waktu untuk setidaknya mempertahankan kualitas iman dengan menghadiri majelis ilmu. Walaupun bagi seorang yang masih menimba ilmu sepertiku ini tetap saja masih merasa perlu untuk selalu memaksakan hati agar bisa datang dalam kajian rutin. Padahal, agenda kegiatan sebagai pelajar masih minim, tapi tetap saja perlu niat yang besar untuk menghadirinya. Aku paham Pemompaan iman sangat diperlukan, mengingat iman dapat naik kemudian seketika turun. Tak ubahnya seperti perasaan manusia, juga dapat berubah arah sewaktu-waktu, menguat dan melemah dengan mudahnya. Ibarat sebuah pohon, jika tidak disirami dengan amal baik, ia perlahan akan layu dan mati. Bicara tentang perasaan, sudah seharusnya tidak perlu membaginya kesana sini. Perasaan cinta terhadap Allah, hanya Allah, untuk Allah, tidak untuk yang lain.
Tidak mudah untuk meningkatkan Iman, ketika kawan sepermainan juga tidak ada kesamaan dalam berprinsip. Akan menjadi sulit untuk Istiqomah dalam hal menambah atau setidaknya bertahan pada ketaqwaan. Ketika menaruh hati dan perasaan pada suatu hal, yakin, mantapkan, kemudian berusaha untuk tetap fokus dengan tidak memperdulikan yang lainnya. Sangat erat kaitannya dengan Istiqomah, Dalam Istiqomah memohon ridho pada Allah SWT, kita sudah sewajibnya senantiasa meyakini dengan berkelanjutan untuk tidak menduakanNya. Secara terus menerus menjalankan titahNya, dan mengabaikan semua hal yang dilarangNya.
Aku punya seorang kawan yang memang sangat jelas terlihat sedang kasmaran. Terlihat bagaimana dia senyum-senyum sendiri. Terlihat bagaimana sumringahnya membalas pesan singkat melalui telfon genggamnya. Aku datang ketika dia sedang menyeruput secangkir kopi hitam dan tak lupa gadget di tangan kirinya melekat erat, kemudian tanpa ragu aku bertanya “ Malam minggu ada kajian, berangkat bareng ya? Nanti aku jemput”. Sebuah pertanyaan yang sudah sering aku lontarkan, dengan respon yang selalu positif biasanya. Dia hanya membisu ketika aku menanyakannya, dia tidak menolak dan juga tidak menerima ajakanku. Lebih tepatnya dia mengabaikan pertanyaanku. Dan masih sibuk dengan telfon genggamnya. Kemudian dia termenung. Dengan yakin aku mengira itu pertanda bahwa dia akan setuju dengan keinginanku. Setelah itu dia menjawab.”Absen dulu deh aku, kebetulan lagi ada acara nih malam minggu, lain kali aja ya” sejenak  aku tercengang dan menimpali “Oke kalo gitu” Jawaban singkat mengartikan sebuah kekecewaan dan tak lama setelahnya aku pamit untuk pulang dan dengan sedikit terburu-buru aku memacu kuda biruku. Di perjalanan aku tak henti-hentinya berfikir mengapa temanku ini menolak ajakanku. Dia tidak menjelaskan mengapa, atau sedikit memberitahu apa kesibukannya. Bukannya mau ikut campur, tapi sudah menjadi hal yang biasa antara aku dan temanku ini untuk saling terbuka satu sama lain. Untuk saling menceritakan apapun, dari yang penting untuk dibagi maupun secuil hal yang tidak perlu untuk dikatakan.  
Malam minggu pun tiba, malam dimana muda-mudi saling memadu kasih, malam dimana ketika kau sedang berstatus single pasti akan di bully. Tapi di malam ini kesempatan meningkatkan iman dan menimba ilmu sangat terbuka lebar. Di masa yang kebanyakan orang bilang “ Mumpung masih muda lo ”. Justru karena masih sehat dan bugar ini harus dimanfaatkan untuk meraih banyak hal. Karena masih diberi kesempatan mengerjakan banyak kegiatan maka dari itu aku berusaha dan memaksakan diri untuk tidak terlena dengan gemerlap masa menjelang dewasa ini. Berfikir bahwa periode ini merupakan kesempatan emas untuk modal jangka panjang nantinya. Senantiasa ingat bahwa setelah kematian ada kehidupan yang kekal sebenarnya.
Dengan memacu kuda besi biruku ini aku dengan mantap menuju ke tempat majelis ilmu. Di jalan tidak aku jarang melihat dua insan berpasangan tengah tersenyum berdua. Tercium aroma kebahagiaan di raut wajah mereka dan sekaligus teringat bahwa diriku hingga saat ini masih tidak memiliki pasangan. Usia memang sudah mulai menginjak dewasa, dan semua orang tersayang juga mengharapkan bahwa harus segera memiliki pasangan tepat waktu alias 1 atau 2 tahun setelah wisuda disarankan untuk segera menikah. Kembali sembari memacu kuda biru, aku berfikir keras, hasil pemikiranku mengatakan bahwa sebaiknya menikah bukan masalah waktu, tapi yang terpenting adalah menikah tepat pada waktunya. Maka dari itu harus senantiasa menabung berbagai kebutuhan untuk keperluan di masa depan. Tidak hanya kemapanan tapi yang paling penting adalah ketaqwaan. Kemapanan bisa dengan mudah dicapai dengan bantuan jaringan sana-sini, tapi ketaqwaan hanya urusan pribadi dengan Tuhan.


Kajian malam minggu ini sungguh sangat membantu dalam memantapkan hati untuk terus-menerus memacu iman. Dengan bertemakan “Kiat-kiat Istiqomah” ini aku merasa harus terus melakukan hal-hal kebaikan. Jangan lelah untuk meningkatkan keyakinan akan kebenaran di jalan Allah. Tidak boleh menyerah untuk selalu mengingatkan orang terkasih akan kebaikan. Seketika aku mengingat sobatku, yang malam ini dia sedang bersama seseorang yang dicintainya. Sebagai teman bukannya tidak senang melihatnya bahagia. Tapi ada perasaan yakin jika bahagianya itu dapat berlangsung tidak lama.
Beberapa minggu berlalu dengan setiap minggunya menghadiri kajian ilmu. Dan setiap kesempatan itu pula aku tidak pernah merasa lelah untuk mengajak kawanku itu. Jawabannya pun tidak berubah. Terlihat jelas bagaimana dia sekarang sudah semakin sering menghabiskan waktu dengan wanita dambaannya dan semakin mengacuhkan kehadiranku. Bukan berarti aku ingin mencampuri urusan pribadinya. Namun sebagai teman aku tidak boleh berhenti untuk selalu meluruskan ketika kawanku ini sedang tidak berjalan lurus. Sebagai teman aku harus selalu semangat mengantarkannya kearah kebaikan.
Ketika hendak menuju kelas, aku lihat sobatku sedang diam tertunduk dengan wajah yang kusut di pojok kampus. Pasti ada sesuatu yang tidak menyenangkan yang dialaminya. Padahal beberapa waktu kemarin dia selalu terlihat bahagia karena seorang wanita tentunya. Mungkin sedihnya kali ini juga disebabkan oleh wanita. Tidak dapat dipungkiri ketika kita berharap pada makhluk ciptaanNya akan sangat rentan untuk berakhir mengecewakan. Pikiran burukku semakin tak terbendung, dengan keyakinan jika sobatku ini sedang patah hati. Sangat terlihat ketika dia menghisap gulungan tembakau dengan raut wajah yang gelisah. Maka dari itu hanya pada Allah SWT seyogyanya berharap dengan penuh keyakinan jika hasilnya tidak akan mengabaikan usaha. Padahal aku masih belum bertanya mengapa dia seperti ini. Tapi aku yakin, seorang wanita adalah penyebabnya.
“ Ini aku bawa setrika buat wajahmu yang kusut ” dengan sedikit candaan aku menyapanya. “Haaaaaaaaahh” dengan panjang dia menghela nafas, dengan berat dia melepaskannya. Dengan begitu, terasa lebih berat aku merasakan sedihnya. Beberapa helaan nafas dan kemudian dia menceritakan semua masalahnya. Semua dugaanku benar. Anak cucu Hawa yang menjadi penyebabnya. Wanita pujaannya yang membuat parasnya kusut. Wanita yang dicintainya lah yang sudah menggoreskan luka mendalam tanda kasih tak sampai. “Sudah cukup ceritanya!” aku menyela. Aku sangat mengerti bagaimana sakitnya cinta tak terbalas. Aku cukup mengerti bagaimana cinta terbalaskan justru untuk  orang lain. Aku mengerti bagaimana perihnya menerima kenyataan. Dan aku sendiri juga tidak mau merasakannya dan mengulang kejadian mengerikan itu. Tidak hanya aku yang merasakannya, tapi juga teman karibku untuk saat ini diberi kesempatan untuk mempunyai pengalaman sepertiku. “Sudah cukup menaruh cinta pada selain Allah, ambil hikmahnya saja dan lekaslah tersenyum!” ujarku dengan nada layaknya orang bijak.
Aku sadar, untuk menjadi generasi emas, sudah bukan waktunya lagi untuk pemuda sepertiku bermalas-malasan. Sudah bukan zamannya lagi hidup bersenang-senang dengan hanya memikirkan duniawi. Sudah saatnya dimulai dari saat ini untuk terus menambah ketaqwaan dan kecintaan kepada Allah SWT. Tidak hanya di perkuliahan kita berusaha meraih nilai maksimal. Tapi diluar itu juga berusaha meraih ridhoNya. Untuk apa mencintai selain Allah SWT, jika hanya Dia yang akan memastikan untuk memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk engkau sahabatku yang saat ini masih berproses, “ Carilah ilmu untuk jadi bijak, carilah ridhoNya agar kau direstui, dan Cintailah Dia sebagaimana Dia menyayangi dan mengasihimu”.